Pengertian Aqiqah

Kata Aqiqah berasal dari kata ‘aqqa, artinya sepotong. Menurut Al-Azhari, Abu Ubaid, dan Ashmu’i, aqiqah semula adalah nama dari rambut seorang bayi yang baru lahir. Akan tetapi nama ini kemudian dinisbatkan pada hewan kambing aqiqah yang disembelih. Alasannya karena rambut yang ada pada bayi itu dicukur bertepatan dengan waktu penyembelihan kambing aqiqah tersebut.
Pada zaman jahiliah dulu, jika orang-orang melakukan aqiqah atas anak yang baru lahir, mereka melumuri sepotong kapas dengan darah hewan aqiqah, kemudian meletakan kapas itu di kepala bayi, yang telah dicukur. Akan tetapi, setelah kedatangan Islam dan berdasarkan sabda Rasulullah, tindakan itu diganti.
Rasulullah saw. bersabda :
“Oleskan wewangian menggantikan darah.” (HR. Ibnu Hibban)
Rasulullah saw. bersabda :
“Seorang anak tergadai dengan aqiqah yang harus disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.” (HR. Turmudzi)
Apa maksud kata tergadai dalam hadis ini?
Adapun maksud dari kata tergadai dalam hadits ini adalah anak itu tergadai (tidak diberi nama dan dicukur rambutnya) kecuali setelah di aqiqah i (di sembelihkan hewan aqiqah untuknya). Akan tetapi, di sana juga terdapat makna lain, yaitu kata tergadai dalam hadis ii digunakan untuk menegaskan keharusannya menyembelih kambing aqiqah.
Adapun menurut Ahmad bin Hanbal kata tergadai maksudnya adalah bahwa anak yang lahir itu tidak dapat memberi syafaat kepada kedua orang tuanya sehingga ia di aqiqahi.
Jika seorang telah dewasa, tetapi dia belum di aqiqah kan, maka dibolehkan baginya menyembelih kambing aqiqah untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, jika ia ragu apakah ia sudah di aqiqah kan atau belum maka seharusnya ia menyembelih kambing aqiqah . Alasannya adalah karena secara hukum dia belum di aqiqah kan.
Adapun dalil yang membolehkan ber aqiqah sendiri adalah hadits Nabi yang diriwayatkan dari Anas bin Malik.
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw. menyembeli hewan aqiqah untuk dirinya sendiri. (HR Baihaqi)
Meskipun demikan, mayoritas ulama menilai hadits ini adalah lemah. Di antara mereka adalah Imam Baihaqi sendiri, Imam Nawawi, dan Al-Hafidh. Alasannya, ada di antara perawinya Abdullah bin Muharrar.
Perintah aqiqah lebih ditekankan daripada perintah untuk ber qurban. Bahkan, penekanan ini dikukuhkan dengan memberikan status hukum sunnah muakkadah, yaitu sunah yang ditekankan.
Ada pertanyaan, ” Jika ada seorang bayi lahir, tetapi ia meninggal pada hari ketujuh dan setelah matahari terbit, apakah ia tetap berkewajiban untuk di aqiqah kan ?”
Jawabannya adalah wajib di aqiqah kan, tetapi jika sebelum waktu itu maka tidak wajib.
Aqiqah adalah salah satu bentuk syukur seorang hamba kepada Allah SWT atas nikmat yang dikaruniakan kepadaNya. Di antara nikmat itu adalah lahirnya seorang anak. Tepat, jika karena luasnya nikmat Allah SWT, Dia berfirman :
“Dan jika kamu menghitung nimat Allah SWT, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya..” (QS An-Nahl : 18)

Postingan Populer